Menentukan Core Business, Tantangan BUMD Hari Ini
![]() |
Foto: Dr. Noviardi Ferzi, S.E., M.M. |
“Menentukan Core Business, Tantangan BUMD Hari Ini”
Oleh: Dr. Noviardi Ferzi, S.E., M.M
(Akademisi)
Bicara tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), kita bisa
memulainya dari kajian mengenai Core business BUMD yang selama
ini tidak memberikan kontribusi bagi pemasukan Pendapatan Asli Daerah. Bukan
cerita lama sebenarnya, jika BUMD tidak memiliki aktivitas usaha yang jelas
sehingga kelangsungan hidupnya bergantung pada Pemerintah Daerah.
Menentukan Core Business memang bukan persoalan
gampang, perlu kajian investasi terkait dengan bisnis yang akan dilakukan.
Dengan begitu tak ada lagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
dihambur-hamburkan. Tahap menentukan Core Business ini menjadi
tantangan serius di tengah peluang dan keterbatasan Sumber Daya Manusia, Tata
Kelola, Modal dan ketatnya persaingan bisnis hari ini. Permasalahan BUMD
termasuk di Jambi dapat dipetakan dengan gamblang.
Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi di
bawah kondisi yang sangat tidak efisien. Terjadi pemborosan dana di sana-sini
karena para pengelolanya tidak memiliki keahlian yang cukup. Terkadang
keputusan-keputusan manajerial berkaitan dengan investasi baru, penentuan tarif
atau keputusan lain diambil secara tidak profesional. Pekatnya nuansa kolusi,
korupsi dan nepotisme menandakan ketidakprofesionalan para pengelola BUMD
tersebut. Di samping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber dari pemanfaatan
teknologi yang tak mampu diadopsi secara baik.
Kedua, masalah
intervensi dan birokrasi. Bila saat ini banyak BUMD yang kalah bersaing dengan
sektor swasta dan akhirnya tumbang di tengah jalan, salah satu penyebabnya
adalah besarnya campur tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam
mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis. Selama ini semua keputusan
bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan konvensional
lainnya harus selalu ijin kepada Pemerintah. Repotnya, respon Pemerintah
seringkali, bahkan dapat dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi
berurusan dengan birokrasi. Pemerintah akan selalu
"mempertimbangkan", "menampung", lalu "membahas"
usulan para Direksi Perusahaan Daerah. Keputusannya akan diberitahukan
kemudian, bisa dalam hitungan bulanan atau bahkan tahunan. Bisa dibayangkan,
jika suatu BUMD mengajukan proposal investasi mesin baru saat ini dan keputusan
"ya" atau "tidak" baru datang setahun kemudian.
Ketiga,
pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya. Pemerintah
Daerah biasanya membentuk Badan Pengawas, yang bertindak seperti Dewan
Komisaris pada Perusahaan swasta. Anggotanya terdiri dari para Pejabat di
lingkungan Pemerintah Daerah, yang terkadang tidak mempunyai latar belakang
bisnis sama sekali. Biasanya, Badan Pengawas ini tidak melakukan kegiatan
sesuai tugas dan fungsinya, yaitu selaku wakil Pemerintah Daerah untuk
mengawasi jalannya Perusahaan Daerah. Para anggota Badan Pengawas rata-rata
menyatakan tidak sempat memikirkan perkembangan usaha Daerah, karena sudah
sibuk dengan tugas dalam jabatan formalnya sendiri-sendiri. Tetapi, ironisnya
mereka senang-senang saja menerima "gaji" dari jabatan tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, posisi perusahaan daerah seakan-akan menjadi anak
ayam yang berusaha hidup dan mengais-ngais makanan tanpa tuntunan sang
induk.
Sebenarnya,
konsep pengelolaan BUMD non-persero (Perusahaan Daerah/Perusahaan Umum Daerah)
dimungkinkan dengan model pengelolaan BUMD dengan sistem ”swakelola mandiri”.
Konsep pengelolaan ini menggunakan sistem pengawasan ataupun pembinaan secara
bertanggungjawab dan intensif. Pengelolaan BUMD dilakukan dengan pengawasan dan
pembinaan secara langsung oleh pemangku kebijakan yang dilakukan oleh kepala
daerah selaku pemegang otoritas tertinggi di Pemerintah Daerah.
Kewenangan
Pemerintah Daerah selaku pemegang otoritas dapat melakukan “intervensi
kebijakan” dalam konteks yang positif terkait kinerja dari BUMD melalui Dewan
Pengawas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
menyebutkan bahwa dalam pengelolaan BUMD salah satunya harus mengandung unsur
tata kelola perusahaan yang baik. Kondisi pengelolaan BUMD masih belum optimal
antara lain terlihat dari pengelolaan yang masih terjebak dalam pola kerja birokrasi
daripada sebagai Perusahaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan,
pelayanan yang diberikan belum maksimal, serta adanya praktek mismanagement
yang mengarah pada inefisiensi dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan
BUMD.
Hulu dari persoalan ini adalah tidak adanya road map bisnis
yang jelas dari BUMD sendiri, dalam mengelola potensi yang dimiliki Daerah.
Katakanlah Jambi yang memiliki pasar sebagai aset. Semestinya ada skema BUMD
bisa mengendalikan pasar agar ada unit usaha bidang pangan dari BUMD dapat
mengendalikan pasar untuk membantu menekan laju inflasi di Jambi. Namun hal ini
bukan semudah membalikan telapak tangan, tapi pemikiran semacam ini perlu
digali, karena saatnya BUMD berpikir besar untuk memiliki Core
Business yang besar pula. Jika tidak BUMD hanya jadi cerita kegagalan
yang berulang. Salam.