Generasi Muda Dalam Alih Generasi Yang Sungsang
![]() |
Foto: Jacob Ereste |
“Generasi Muda Dalam Alih Generasi Yang Sungsang”
Oleh: Jacob Ereste
Pemuda adalah harapan bangsa, itu dahulu. Sekarang
mungkin sebagai nyanyian pun sudah dianggap usang yang tidak lagi
memiliki makna apa-apa, kecuali kenangan belaka, seperti waktu Soempah
Pemoeda yang diikrarkan penuh heroik pada 28 Oktober 1928 yang nyaris
satu abab lalu itu sejarahnya. Lalu adakah acara yang digagas pemuda pada
peringatan hari ini, atau semacam upacara resmi yang dilakukan oleh pemuda itu
sendiri saat memperingati hari Soempah Pemoeda?
Agaknya, semua
acara yang sudah dilakukan -- hanya sekedar untuk memperingati momentum sejarah
94 tahun silam itu saja -- yang nyaris tak ada yang dilahirkan atau muncul
dari gagasan kalangan pemuda itu sendiri -- jadi ada semacam peralihan semangat
Pemuda yang masih digenggang oleh mereka yang tua. Dan pemuda -- kalau
boleh disebut untuk mereka yang berusia 15 - 30 tahun, jelas meliputi adik-adik
yang masih sekolah di SMP, SMA dan mahasiswa serta jutaan jumlah mereka yang
sedang menjadi pengangguran, karena tidak kebagian pekerjaan.
Mereka semua
adalah manusia yang paling pantas menginisiasi semua aktivitas dan kegiatan
yang berkaitan dengan peringatan hari Soempah Pemoeda pada setiap tanggal 28
Oktober seperti hari ini yang lumayan semarak, meski tak semua mengungkap ruh
dan jiwa pemuda yang relevan dengan nilai-nilai heroisme serta perjuangan yang
tersirat dari tekad ikrar satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa yaitu
Indonesia, ketika itu.
Realitasnya
pada hari ini, pemuda Indonesia telah memiliki keasyikan sendiri. Kecuali
mencari ilmu di sekolah dan universitas atau akademi, mereka lebih sibuk
membekali diri untuk memasuki dunia kerja yang super ketat persaingann ya
lantaran lapangan kerja tak sebanding dengan angkatan kerja yang terus
bertumbuh tanpa pernah diantisipasi cara mengatasinya. Tenaga kerja dan sedikit
diantara mereka yang sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk bekerja mandiri
tiada tergantung pada pihak lain, juga tidak banyak.
Orientasi dari
sekolah dan kuliah pun adalah untuk membidik bidang pekerjaan yang gampang --
dan kalau bisa -- cepat lulus, mudah mencari kerja dan bergaji besar, tanpa
kerja terlalu payah. Artinya sangat praktis dan simpel, karena lapangan kerja
pun tidak cukup tersedia bagi mereka, termasuk bagi mereka yang menempuh
pendidikan siap pakai, lantaran lapangan kerja memang tidak cukup serius
dipersiapkan untuk mereka.
Karena itu
pun, semangat kerja serabutan terpaksa dilakukan. Yang berbasis ilmu teknik
bekerja di bidang hukum, yang punya ilmu hukum bekerja di perbengkelan.
Atau sebaliknya. Sementara warga masyarakat kebanyakan -- utamanya kaum tua --
maunya pemuda Indonesia lebih kreatif, lebih inovatif bahkan lebih infentif
agar bisa menjadi garda terdepan dari perintis, perombak dan penjebol seperti
istilah heroiknya Soekarno yang selalu mengidolakan pemuda itu berjiwa
revolusioner di dalam segala bidang kehidupan.
Ironisnya, dukungan nyata untuk para pemuda Indonesia tidak cukup banyak diberikan-- atau bahkan sangat amat sedikit -- misalnya seperti sejumlah gelanggang remaja yang dikira cukup dibuatkan begitu saja tanpa dukungan dan dorongan dengan berbagai bentuk sehingga mereka sebagai kawula muda bisa lebih bergairah melakukan aktivitas positif guna membekali diri mereka agar bisa lebih tangguh dan menghadapi masa depan yang lebih kompleks tantangannya di era milineal sekarang ini.
Meletakkan harapan bangsa kepada pemuda tidak lagi bisa diidolakan
seperti pada era sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan dengan situasi dan
kondisi yang harus mereka hadapi sekarang. Karena kondisi dan situasinya sudah
berubah, sementara harapan yang ditumpukan pada pundak pemuda tetap sama ideal
seperti semangat berjuang saat ingin merebut kemerdekaan tempo doeloe.
Pada era
milineal sekarang ini ceritanya sudah berbeda, tak lagi seperti dahulu.
Sekarang para pemuda kita sibuk mencari peluang dan kesempatan membangun karier
maupun profesi pekerjaan yang akan mereka tekuni untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang lebih praktis dan gampang, bagaimana agar secepat mungkin
memiliki basis material yang cukup meski tak harus kaya raya seperti mereka
yang sudah mampu merebut dunia.
Artinya,
orientasi materialisme telah menjadi basis pemikiran mereka sejak sekolah
dan kuliah, sebab bila tidak maka dirinya akan dianggap gagal atau ketinggalan
jaman dan tak layak hidup di jaman now. Begitulah
realita pemuda Indonesia sekarang. Sebab waktu bertemu dengan sanak
saudara mereka sendiri yang utama dan dominan jadi pertanyaan adalah seputar
kesuksesan dalam pekerjaan. Jabatan, gaji dan fasilitas apa saja serta sudahkah
memiliki rumah. Selebihnya adalah kendaraan yang sudah dimiliki sekarang.
Jadi kondisi
dan situasi immaterial bisa dianggap tak terlalu penting lantaran tidak pernah
menjadi orientasi utama. Misalnya tentang si Badu yang baru saja menyelesaikan
sekolah di Kairo atau Havard University. Sejujurnya pun, orang tua sudah merasa
lebih dari cukup memenuhi keperluan materi yang diperlukan sang anak. Hingga
kondisi dan situasi di sekolah atau universitas tempatnya menimba ilmu tidak
memiliki tempat untuk ikut menjadi perhatian. Karena yang bersifat
keilmuan pun tidak dianggap penting, kecuali cepat selesai, lekas mendapat
pekerjaan lalu secepatnya menikah, agar tidak lagi menjadi beban orang tua.
Cermin dari
sepi dan kerontangnya gelandang remaja, sama dan senada dengan ironisnya
kegiatan ekstra di kampus perguruan tinggi yang semakin jauh dari semangat
pengabdian pada masyarakat sebagai bagian dari dasar statuta perguruan tinggi
yang orientasinya pun telah condong pada bisnis bahkan bergaya pasar bebas.
Hingga ijazah pun dapat diperjual-belikan. Jadi semacam peradaban petani dan
nelayan yang kini terkesima dari iming-iming pasar dan dunia industri yang
melupakan basis budaya para leluhur yang pernah berjaya pada masanya sebagai
pekerja merdeka di lahan miliknya sendiri.
Karenanya
hanya mimpi -- atau sekedar basa-basi belaka -- berharap dan meneriakkan bahwa
pemuda Indonesia menjadi penggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang
terancam ambruk akibat ulah generasi tua yang juga asyik dengan dirinya
sendiri. Agaknya, begitulah kondisi pemuda Indonesia hari ini dalam peralihan
generasi yang sungsang, terkahir di jaman yang serba kacau.
Banten, 28 Oktober 2022.